Monday, October 13, 2008

Sore.... kala aku dilaut

Tenang dijiwaku
‘tika kuhentakkan kaki
Dan seketika pelukan gelombang yang biru
Membawaku
Bersua karang dan ikan kecil
Deru dihatiku laksana irama dayung nelayan membelah....
Senja kutatap smakin dalam
Penuh dengan gurat-gurat

Akh....
Lukisan alam dan tarian burung elang jawa
Kurasakan merasuki hatiku
Mungkinkah ia rindu pada sarang dan anaknya?


1Agustus 2006

SURAT

AKU MERINDUKAN RAUNGAN MATAHARI
DAN GEMULAINYA SENDU ANGIN SENJA
PUCUK MEREKAH
SEMENTARA AKAR YANG MENGHUJAM
REBAHKAN DAKU...
PADA PELUKANMU

GADISKU...
ENGKAU MEMAKSAKU
MENELAN BULAT-BULAT APA TENTANG LIUKMU
DAN GAUN KUNING EMAS BUNGA PADI ITU
DENGANNYA AKU MLIHAT DEWI SRIE
PADAMU

SENAT 23/8/06

surat buat seorang kawan

jangan mengutuk bulan
bangun..
dan tantanglah langit
terjanglah puncak gunung
dan belahlah deru badai

katakan tidak pada pesakitan
katakan sanggup pada kesakitan
karena
hanya dengan itu 1 nyawa tersambung lagi

bila menoleh kebelakang ada luka
biarkan itu menjadi lentera dalam hatimu
percepat langkah
kedepan
itu urutan pertama

rembulan boleh mengitam
awan boleh kiamat
langit boleh runtuh
mentari boleh terbelah
tapi
menyerah
adalah kekalahan yang kalah

menang tidak mesti ada rampasan perang
karena korban adalah luka
rendamlah mesiu dalam kuah sayurmu
biar darah menjadi manis
dan senjata berpeluru kembang api

suatu hari
kusapa dirimu disudut jembatan
terkapar binggung memilih arah
sendiri
sepi menjadi cermin
biarkan engkau menyeret pantatmu
karena melompat kebawah adalah
bunuh diri...

riuh badai gunung
riuh badai gunung
terbanglah denganmu sumpah serapah
karena pendakian mesti berlanjut
dipuncak sanalah kamu memeluk dunia


25 september 2008,

Triologi: Surat buat ibu

(1)

Bu .... disela siang yang smakin mengganas
Dan debu yang berhelai helai tenggorokan anakmu
Kutemukan satu makna kerasnya hidup
Dan tajamnya batu yang terus terlewati
Hari-hari....

Bu...
Engkau tahu tidak
Kutulis ini dibawah todongan senjata kapitalis
Dan hujan peluru masyarakat hedonis menenggelamkan diriku
Yang mana mayat dan luka, darah memerah
Dari orang yang terkorbankan dimana-mana....

Terkorbankan....bu!!!
Terkorbankan...
Oleh busuknya puisi dan rayu dari mereka
Kami tinggal tulang....
Maka kami hanya jelas dapat merangkak...

(2)

Bu....
Engkau tahu tidak
Dikala pagi dan siang aku menunaikan janji padamu
Kursi kampus yang kududuki, panas dan membara,
Oleh pikiranku sendiri
Akan seberapa centi lagi bungkuk badanmu
Menyentuh tanah
Mencari uang untuk ku.....

Ma.... ingatkah engkau pada surat pertamaku padamu
Kuluahkan kegiranganku ketika kampus yang kuhuni berakreditasi “A” plus +
Tahu tidak pikirku ketika itu
Anakmu akan tenang dalam hidup ini
Betapa jelas dibenakku keringanan, kedamaian
Takkan ada lagi cepean dan aku tak kurus lagi lantaran keseringan keluar malam akibat
Berseliweran di warnet...
Tak kan ada lagi dana abadi darimu khusus beli buku yang harganya membuat bulu roma pun tak mampu berdiri.....
Tak akan lagi aku membisuli, dan malah melukai tanganku kala praktikum lantaran tuanya alat alat.
Aku damai.....Bu

Kurasakan aliran bayu surga.....


Tapi....Bu
Ternyata itu Cuma dusta...
Dimana warnet hanya menyala kala tim penilai akreditasi datang
Buku buku hanya sejumput tai kuku
Dan alat alat yang ringih terus berputar dan berputar
Uang bantuan tak jelas kemana....
Beasiswa? Hanya bisa kupake bayar utang aja....bu

(3)

Aku dibohongi...bu
Aku setres dan malah tak mampu makan dan jatuh sakit.
Aku binggung dan tak mampu berlari karna itu melekat dibokongku..
Melawan?
Ha....ha...ha...
Resikonya berat
Aku bakalan drg. (drop out, rusak dan gila)
Itu...kan engkau tak mau terjadi padaku

Akh ....aku merindukan dirimu ibu...
Tapi surat ini terlalu panjang untuk engkau baca
Dengan badanmu yang capek dan matamu yang kabur
Tunggu saja berikutnya....bu

ttd
anakda


jumad, 20 April 2007

Surat buat kawan-kawanku

Wahai anak muda bangunlah
Mentari telah meninggi
Subuh berlalu dengan dinginya
Dan jangan biarkan sujud pukul 12.30 berlalu
Bangunlah....
Walau hanya tuk menyaksikannya

Kita ditakdikan bersua disini
Mencoba mengayunkan pedang pucuk ilalang
Pada dunia yang ganas
Dan kita kan bersama
Menikamnya dalam-dalam pada kesombongan yang datang menari pada kita
Hari-hari

Sadari satu hal :
”Mahzab Green Ranch Palace mengajarkan kita ketegaran dengan dirinya yang ringih”
Menjadikan dirinya maskot jiwa, kita tak perlu malu
Karena Tuhan masih mengizinkannya berdiri
Meski dosa-dosa kita menambah beban pada usianya yang tak lagi muda

Makna kebersamaan bagi kita
Adalah kelaparan yang masih saja tak mampu menekan tawa dan canda kita hari-hari
Itulah kita
Yang tak pernah lepas senyum dan makna cinta
Wahai...
Bangunlah
Mentari telah meninggi
Subuh berlalu dengan dinginya
Dan jangan biarkan sujud pukul 12.30 berlalu
Bangunlah....
Walau hanya tuk menyaksikannya


Grp tamalanrea, 21012007